KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr Wb. puji syukur kepada
Allah SWT yang telah memberi nikmat sehat kepada saya sehingga makalah mata kuliah
Ilmu Sosial Dasar ini dapat saya selesaikan sebagai salah satu tugas yang
diberikan dosen mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
Tugas makalah yang berjudul “masalah sosial pengemis di indonesia”. Sebuah makalah yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial pengemis di indonesia.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu, saya mengharapkan kritik dan bimbingan dari Bapak atau Ibu dosen serta rekan-rekan sesama mahasiswa untuk menyempurnakan makalah-makalah saya yang selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Akhir kata saya ucapkan Terima kasih.
Tugas makalah yang berjudul “masalah sosial pengemis di indonesia”. Sebuah makalah yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial pengemis di indonesia.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu, saya mengharapkan kritik dan bimbingan dari Bapak atau Ibu dosen serta rekan-rekan sesama mahasiswa untuk menyempurnakan makalah-makalah saya yang selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Akhir kata saya ucapkan Terima kasih.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pengemis adalah mereka yang pekerjaannnya atau hobby-nya meminta minta. Diindonesia atau lebih spesifiknya dijakarta, pengemis sangatlah banyak. Bukan hanya orangtua atau orang dewasa, remaja dan bahkan anak-anak kecil pun banyak yang menjadi pengemis. Hal ini dipacu oleh tingkat kemiskinan di indonesia yang tinggi serta kurangnya atau sempitnya lapangan pekerjaan, sehingga banyak dari mereka yang pengangguran memilih untuk menjadi pengemis.
Namun sesuai dengan judul makalah saya kali ini, pengemis pun ada yang disebut dengan pengemis musiman. Pengemis musiman adalah pengemis yang mengemis pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya saat bulan ramadhan atau menjelang lebaran. Dapat kita temukan banyak sekali pengemis-pengemis musiman dijalanan bahkan ada pula yang mengemis kerumah-rumah warga.
Ini merupakan masalah sosial yang harus segera diatasi hingga tuntas. Jika saja pemerintah dapat dengan sigap mengurangi tingkat kemiskinan diindonesia atau membuka lebih banyak lagi lapangan pekerjaan untuk warga indonesia yang tidak menyelasaikan pendidikan tingginya, mungkin itu dapat mengurangi dan membantu pengemis-pengemis itu untuk tidak lagi mendapatkan uang hanya dengan mengemis atau meminta-minta uang dan belas kasihan oranglain.
Pengemis adalah mereka yang pekerjaannnya atau hobby-nya meminta minta. Diindonesia atau lebih spesifiknya dijakarta, pengemis sangatlah banyak. Bukan hanya orangtua atau orang dewasa, remaja dan bahkan anak-anak kecil pun banyak yang menjadi pengemis. Hal ini dipacu oleh tingkat kemiskinan di indonesia yang tinggi serta kurangnya atau sempitnya lapangan pekerjaan, sehingga banyak dari mereka yang pengangguran memilih untuk menjadi pengemis.
Namun sesuai dengan judul makalah saya kali ini, pengemis pun ada yang disebut dengan pengemis musiman. Pengemis musiman adalah pengemis yang mengemis pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya saat bulan ramadhan atau menjelang lebaran. Dapat kita temukan banyak sekali pengemis-pengemis musiman dijalanan bahkan ada pula yang mengemis kerumah-rumah warga.
Ini merupakan masalah sosial yang harus segera diatasi hingga tuntas. Jika saja pemerintah dapat dengan sigap mengurangi tingkat kemiskinan diindonesia atau membuka lebih banyak lagi lapangan pekerjaan untuk warga indonesia yang tidak menyelasaikan pendidikan tingginya, mungkin itu dapat mengurangi dan membantu pengemis-pengemis itu untuk tidak lagi mendapatkan uang hanya dengan mengemis atau meminta-minta uang dan belas kasihan oranglain.
TUJUAN
1. Memenuhi tugas mata kuliah softskill ilmu
sosial dasar.
2. Menambah dan memperbanyak pengetahuan
tentang masalah sosial.
3. Mengetahui dan memahami tindakan yang harus
dilakukan terhadap pengemis musiman.
4. Menghimbau penduduk indonesia yang
pengangguran agar lebih giat mencari pekerjaan yang lebih baik.
5. Agar pemerintah dapat membaca dan tersadar
akan masalah sosial pengemis musiman ini.
6. Agar pemerintah melakukan tindakan yang
berguna untuk para pengemis musiman.
7. Agar mahasiswa atau pembaca dapat memahami
pentingnya belajar untuk masa depan supaya tidak menjadi seperti para pengemis
musiman.
SASARAN
Sasaran yang ingin dicapai pada pembuatan makalah ini adalah menjadikan seluruh penduduk atau masyarakat Indonesia khususnya para generasi muda penerus bangsa untuk membantu mengurangi tingkat kemiskinan dan menghapus atau menghilangkan pengemis musiman dengan lebih giat lagi belajar dalam menggapai kesuksesan kelak.
Gelandangan di Perkotaan
Gelandangan
dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak
kota, tak terkecuali di negara maju Permasalahan gelandangan dan pengemis
sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah maupun bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan
sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu
keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam
penanggulangannya.
Istilah
Gelandangan, Pengemis dan Pemulung
Istilah gelandangan berasal dari kata
gelandangan, yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat
kediaman tetap (Suparlan, 1993). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum
urban yang berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota,
namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan
spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja
serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung,
pengamen dan pengemis. Weinberg (1970) menggambarkan bagaimana gelandangan dan
pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami
praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan
ini, Rubington & Weinberg (1995) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif
justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.
Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of wedlock).
Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa (dehabilitation) dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial .
Selama ini sebagian besar masyarakat masih
dibingungkan oleh pengertian gelandangan, pengemis dan pemulung. PP No. 31
Tahun 1980 mendefinisikan gelandangan yaitu orang-orang yang hidup dalam
keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat
setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta
hidup mengembara ditempat umum. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
seringkali mengemis (hidup dari belas kasihan orang lain) atau bekerja sebagai
pemulung. Ali, dkk. (1990) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang
yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana).
Adapun indikator gelandangan yaitu sebagai berikut : (1) Anak sampai usia dewasa; (2) Tinggal disembarang tempat dan hidup mengembara atau mengelandang ditempat-tempat umum, biasanya dikota-kota besar; (3) Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku bebas/ liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat umumnya; (4) Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas.
Secara umum gelandangan ada 2 yaitu gelandangan psikotik dan gelandangan non-psikotik. Gelandangan non-psikotik pun dibagi menjadi dua yaitu mereka yang menggelandang karena malas bekerja dan mereka yang menggelandang karena desakan ekonomi. Mereka yang menggelandang karena malas, biasanya tinggal pergi ke belakang McDonald atau KFC untuk sekedar makan enak dengan menunggui sisa-sisa makanan yang dibuang di tempat sampah.
Mereka juga sering menjadikan panti-panti pemerintah sebagai tempat makan gratis. Bosan di satu panti, mereka akan pindah ke panti lain. Begitu seterusnya. Jadi saya tidak setuju kalau ada penggeneralisasian bahwa seluruh gelandangan pada dasarnya pemals. Studi yang saya lakukan beberapa tahun yang lalu menunjukkan bagaimana sebagian dari mereka bekerja siang malam tanpa mengenal lelah. pagi buta sudah berangkat memulung, pulang malam dan terkadang mereka membersihkan hasil pulungannya sampai jam 12 malam di gubuk-gubuk sederhana dimana mereka tinggal. Ada beberapa mereka yang minum arak/alkohol sambil bernyanyi-nyanyi.
Saya melihat ada nada kesedihan dalam suara-suara mereka. Mungkin mereka frustasi dengan hidup. Tapi dari perspektif saya mereka adalah orang-orang kuat yang mengarungi kejamnya kehidupan di kota besar. Saya percaya bahwa fenomena gelandangan adalah fenomena gagalnya suatu masyarakat dalam mencegah dan memproteksi warganya. Ketidakpedulian dan kurangnya dukungan dari masyarakat secara umum berkontribusi terhadap terciptanya gelandangan-gelandangan di kota besar. Jelas program penanganan antara mereka yang psikotik, non psikotik karena mentalitas dan non psikotik karena kesulitan ekonomi akan berbeda. Dan tentu saja penanganannya harus humanis dan mengedepankan hak-hak mereka.
Adapun indikator gelandangan yaitu sebagai berikut : (1) Anak sampai usia dewasa; (2) Tinggal disembarang tempat dan hidup mengembara atau mengelandang ditempat-tempat umum, biasanya dikota-kota besar; (3) Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku bebas/ liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat umumnya; (4) Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas.
Secara umum gelandangan ada 2 yaitu gelandangan psikotik dan gelandangan non-psikotik. Gelandangan non-psikotik pun dibagi menjadi dua yaitu mereka yang menggelandang karena malas bekerja dan mereka yang menggelandang karena desakan ekonomi. Mereka yang menggelandang karena malas, biasanya tinggal pergi ke belakang McDonald atau KFC untuk sekedar makan enak dengan menunggui sisa-sisa makanan yang dibuang di tempat sampah.
Mereka juga sering menjadikan panti-panti pemerintah sebagai tempat makan gratis. Bosan di satu panti, mereka akan pindah ke panti lain. Begitu seterusnya. Jadi saya tidak setuju kalau ada penggeneralisasian bahwa seluruh gelandangan pada dasarnya pemals. Studi yang saya lakukan beberapa tahun yang lalu menunjukkan bagaimana sebagian dari mereka bekerja siang malam tanpa mengenal lelah. pagi buta sudah berangkat memulung, pulang malam dan terkadang mereka membersihkan hasil pulungannya sampai jam 12 malam di gubuk-gubuk sederhana dimana mereka tinggal. Ada beberapa mereka yang minum arak/alkohol sambil bernyanyi-nyanyi.
Saya melihat ada nada kesedihan dalam suara-suara mereka. Mungkin mereka frustasi dengan hidup. Tapi dari perspektif saya mereka adalah orang-orang kuat yang mengarungi kejamnya kehidupan di kota besar. Saya percaya bahwa fenomena gelandangan adalah fenomena gagalnya suatu masyarakat dalam mencegah dan memproteksi warganya. Ketidakpedulian dan kurangnya dukungan dari masyarakat secara umum berkontribusi terhadap terciptanya gelandangan-gelandangan di kota besar. Jelas program penanganan antara mereka yang psikotik, non psikotik karena mentalitas dan non psikotik karena kesulitan ekonomi akan berbeda. Dan tentu saja penanganannya harus humanis dan mengedepankan hak-hak mereka.
Istilah terakhir yang sering diasosiasikan
dengan gelandangan adalah pemulung. Pemulung dapat diartikan sebagai orang yang
kegiatannya mengambil dan mengumpulkan barang-barang bekas yang masih memiliki
nilai jual yang kemudian akan dijual kepada juragan barang bekas. Pemulung juga
dapat didefinisikan sebagai orang yang mempunyai pekerjaan utama sebagai
pengumpul barang-barang bekas untuk mendukung kehidupannya seharihari, yang
tidak mempunyai kewajiban formal dan tidak terdaftar di unit administrasi
pemerintahan.
Data dan Fakta Seputar Gelandangan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat
Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008,
jumlah gelandangan mencapai 25.169 orang, jumlah pengemis mencapai 35.057
orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang. Data jumlah orang gelandangan
sendiri meningkat hamper 2 kali lipat pada tahun 2009 dan mencapai 54.028
orang.
Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.
Data yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.
Angka gelandangan diperkirakan terus naik,
mengingat daya tarik kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu
diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah
impian bagi orang desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat
kecenderungan kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada ‘gejala satu kota’
yaitu ibu kota Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di
Thailand adalah Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine
adalah Manila.
Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis
dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti
(core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba
menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan
anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola
penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup
mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan. Inilah
sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di kalangan ilmuwan
sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut ‘Kampung Besar’
(the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih mencerminkan
orang kampung.
Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta.
Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan kota-kota lainnya.
Masalah gelandangan dan pengemis bukan semata-mata
masalah modal, keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah
mentalitas diri. Terbukti dari tingkat kegagalan layanan yang disediakan
pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti ataupun layanan
transmigrasi, namun kembali menggelandang di kota.
Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk setempat.
Mereka berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk setempat.
Gelandangan, Migrasi Desa-Kota dan Gagalnya
Pemerintah Kota Dalam Melakukan Antisipasi
Kaum urban yang datang ke kota-kota, karena
minim pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang, akhirnya
mereka mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai
’Anak’ (client).Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting
bisa survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang
dituju adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong,
pinggir stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka
kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur.
Studi yang dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Sebagai konsekuensinya, para pedagang yang dulu tidur di pasar Senen dengan memeluk dagangannya akhirnya mengikuti pola yang sama yaitu mendirikan gubuk-gubuk di sepanjang rel kereta api.
Kalau petugas PJKA bisa kenapa mereka tidak? Pada konteks ini pemerintah kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar. Persoalan kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual.
Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut.
Studi yang dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat tersebut. Khusus untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Sebagai konsekuensinya, para pedagang yang dulu tidur di pasar Senen dengan memeluk dagangannya akhirnya mengikuti pola yang sama yaitu mendirikan gubuk-gubuk di sepanjang rel kereta api.
Kalau petugas PJKA bisa kenapa mereka tidak? Pada konteks ini pemerintah kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar. Persoalan kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan eksploitasi seksual.
Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang yang aneh di lingkungan tersebut.
Bahwa masalah gelandangan dan pengemis adalah
masalah klasik dalam urbanisasi. Intinya jika migrasi desa-kota dapat
diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat
dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus
dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya
preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan
penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini
bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara
langsung ke kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder
dari Dinas/Instansi Sosial terkait.
Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan
daya tarik kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya cerita-cerita
sukses dari para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya penyuluhan dan
diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya preventif dalam
menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota. Paling tidak,
masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota. Hal ini
dikarenakan modus munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para perantau
yang gagal mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya
maupun teman terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan
keinginan sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).
Pengemis sebenarnya dapat dibagi menjadi dua,
yaitu mereka yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk hidup, dan
mereka yang dalam keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk
intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan
karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis
juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya
layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi ke kota
akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih tindak
represif daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan beberapa program andalan
pemerintah justru tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan
untuk gelandangan dan pengemis perlu melibatkan para patron, pihak kepolisian,
pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal gelandangan dan pengemis.
Kapan Persoalan Gelandangan Akan Selesai?
Terkadang dalam menyikapi permasalahan sosial,
kita dituntut untuk tetap optimis. Bagaimana layanan sosial akan dilakukan
dengan baik apabila orang-orang yang didalamnya justru pesimis? Namun demikian
diperlukan perencanaan sosial yang baik dengan memahami budaya dan cara pandang
mereka. Terus kapan persoalan ini akan selesai? Tidak ada magic answer untuk
pertanyaan ini.
Menurut kami, persoalan gelandangan di Indonesia
dapat ditangani secara lebih baik asalkan Pemerintah mengeluarkan kebijakan
nasional semacam perlindungan sosial sehingga setiap orang di bumi pertiwi ini
bisa hidup standar dan layak, yang memungkinkan mereka dan keluarganya dapat
mengakses layanan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial dengan baik. Hal
ini dikarenakan masalah gelandangan merupakan masalah makro yang juga harus
diselesaikan dengan program dan kebijakan yang makro. Pendekatan mikro
tidak akan dapat mengatasi persoalan secara comprehensive dan holistic. Memberi
rumah, modal dan pelatihan saja tidak cukup. Butuh penyediaan lapangan
pekerjaan, jaminan sosial dan kesehatan, serta jaminan pendidikan. Gap
kesenjangan ekonomi harus dipangkas.
Pajak orang kaya harus dinaikkan untuk mensubsidi mereka yang miskin. Bukan semata-mata masalah peraturan, namun perlu ditekankan bahwa ini adalah masalah moralitas dan kemanusiaan. Sudah waktunya orang miskin yang penghasilannya di bawah standar hidup harus disubsidi pemerintah. Sudah waktunya mereka yang miskin dan ingin sekolah tapi tidak mempunyai uang bisa meminjam pada pemerintah. Sudah waktunya orang miskin yang ingin berwira usaha namun kesulitan dalam mengakses layanan modal mendapatkan kemudahan dari pemerintah.
Sudah waktunya orang miskin yang tidak mampu berobat harus ditanggung pemerintah. Itulah gunanya sebuah negara didirikan untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan kesejahteraan pada rakyatnya. Jika negara mengingkari ini semua, kemudian siapa yang akan memikirkan nasib mereka? Namun demikian perlu adanya pusat data dan administrasi publik yang kuat untuk mendukung kebijakan nasional semacam ini. Sebagai contoh, di Australia semua data orang miskin satu pintu di bawah centre link. Dan mereka yang tidak atau belum terdata bisa mendaftar secara langsung ke centre link cabang terdekat di tempat tinggalnya.
Akan diadakan semacam interview dan validitas informasi oleh social workers apakah mereka benara-benar miskin atau mengaku miskin. Hal ini untuk menghindari adanya fenomena off rider yaitu mereka yang seharusnya tidak menerima jaminan sosial justru menerima (salah target) atau free rider yaitu mereka yang mengaku-aku miskin. Ini berarti data orang miskin adalah data bergerak yang dinamis serta tidak bersifat tetap misal 2 tahunan atau 5 tahunan sekali. Data itu bisa berubah dalam ukuran detik. Jadi tidak ada istilah mereka yang tidak terdaftar oleh BPS terus menyesali nasib dan akhirnya menyayat nadinya sendiri. Sekali lagi perencanaan sosial harus kuat dan baik. Ingat pepatah lama ‘Fail to plan is a plan to fail’.
Pajak orang kaya harus dinaikkan untuk mensubsidi mereka yang miskin. Bukan semata-mata masalah peraturan, namun perlu ditekankan bahwa ini adalah masalah moralitas dan kemanusiaan. Sudah waktunya orang miskin yang penghasilannya di bawah standar hidup harus disubsidi pemerintah. Sudah waktunya mereka yang miskin dan ingin sekolah tapi tidak mempunyai uang bisa meminjam pada pemerintah. Sudah waktunya orang miskin yang ingin berwira usaha namun kesulitan dalam mengakses layanan modal mendapatkan kemudahan dari pemerintah.
Sudah waktunya orang miskin yang tidak mampu berobat harus ditanggung pemerintah. Itulah gunanya sebuah negara didirikan untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan kesejahteraan pada rakyatnya. Jika negara mengingkari ini semua, kemudian siapa yang akan memikirkan nasib mereka? Namun demikian perlu adanya pusat data dan administrasi publik yang kuat untuk mendukung kebijakan nasional semacam ini. Sebagai contoh, di Australia semua data orang miskin satu pintu di bawah centre link. Dan mereka yang tidak atau belum terdata bisa mendaftar secara langsung ke centre link cabang terdekat di tempat tinggalnya.
Akan diadakan semacam interview dan validitas informasi oleh social workers apakah mereka benara-benar miskin atau mengaku miskin. Hal ini untuk menghindari adanya fenomena off rider yaitu mereka yang seharusnya tidak menerima jaminan sosial justru menerima (salah target) atau free rider yaitu mereka yang mengaku-aku miskin. Ini berarti data orang miskin adalah data bergerak yang dinamis serta tidak bersifat tetap misal 2 tahunan atau 5 tahunan sekali. Data itu bisa berubah dalam ukuran detik. Jadi tidak ada istilah mereka yang tidak terdaftar oleh BPS terus menyesali nasib dan akhirnya menyayat nadinya sendiri. Sekali lagi perencanaan sosial harus kuat dan baik. Ingat pepatah lama ‘Fail to plan is a plan to fail’.
Sudah saatnya pula pembangunan di daerah-daerah harus digenjot pertumbuhannya untuk menghindari terjadinya gejala satu kota. Sebagaimana di Australia, orang mau tinggal di Sydney, Armidale, Albury, Newcastle, semua relatif sama. Semua dapat hidup di daerah-daerah tersebut tanpa harus pergi dan tinggal di Sydney. Pengembangan daerah-daerah tersebut untuk memecah laju ke kota besar. Jelas ini butuh kerja keras tidak hanya dari gubernur, tetapi juga walikota/bupati untuk memajukan daerahnya. Mungkin sudah saatnya ada spesialisasi sesuatu yang khas yang ditawarkan oleh daerah tersebut. Semisal daerah ini penghasil pertanian semangka, apel, terasi udang, ikan panggang, dll. Tentu saja hal ini juga membutuhkan dukungan yang luar biasa dari pemerintah pusat sehingga duit tidak hanya berputar di Jakarta saja.
Sudah saatnya kemitraan dan kolaborasi yang efektif harus ditingkatkan. Gelandangan tidak hanya urusan pemerintah tapi juga LSM, dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Belajar dari Amerika, persoalan gelandangan tidak hanya di tangani oleh sektor sosial saja namun juga melibatkan departemen pertahanan dan keamanan, dimana mereka menyediakan barak-barak tentara untuk alternative tempat tinggal gelandangan sementara sebelum diberikan solusi tempat tinggal murah. Jadi sangat menyedihkan apabila di negara kita semua diserahkan pada sektor sosial saja tanpa dukungan sektor lain dengan alokasi anggaran nomor kesekian belas. Ini jelas tidak bisa mewujudkan ekspektasi masyarakat dalam penghapusan gelandangan di Indonesia.
Dan menurut saya, sudah saatnya di era otonomi daerah pelaksanaan penanganan dilakukan oleh LSM-LSM terseleksi melalui metode lelang dan kontrak. Pemerintah harus mulai menempatkan diri sebagai decision maker dan monitoring dan evaluasi. Kalau semua ditackle semua oleh pemerintah, saya khawatir dengan keterbatasan dari segi jumlah dan kualitas SDM. Tugas pemerintahlah untuk menumbuhkan kesadaran bahwa ini adalah persoalan kita semua. Tidak semua yang berbau negara Barat dapat diterapkan di Indonesia. Perlu studi lebih lanjut untuk mencari pola penanganan yang sesuai dengan karakteristik masalah dan budaya Indonesia.
Modus-modus pengemis, antara lain yaitu :
1. Koreng / Bekas Luka
Pengemis menggunakan terasi dan obat merah
kemudian di oleskan ke kulit hingga kering. Terasi di gunakan sebagai bahan
untuk memikat lalat sehingga terlihat seperti luka membusuk, sedangkan obat
merah untuk terlihat seperti darah.
2. Pengemis Hamil
Di beberapa perempatan dan pinggiran jalan terkadang dapat di temukan pengemis perempuan hamil padahal sebenarnya itu merupakan sebuah bantal.
Di beberapa perempatan dan pinggiran jalan terkadang dapat di temukan pengemis perempuan hamil padahal sebenarnya itu merupakan sebuah bantal.
3. Tangan Pura-pura Buntung
Modus ini digunakan pengemis seperti mengikat tali di tangan kebelakang sehingga terlihat seperti buntung.
Modus ini digunakan pengemis seperti mengikat tali di tangan kebelakang sehingga terlihat seperti buntung.
4. Manusia Gerobak
Pada bulan ramadhan ini banyak pengemis menggunakan gerobak untuk tidur dengan keluarga, sehingga terlihat memelas dan memungkinkan pejalan maupun pengendara untuk memberikan sedekah.
Pada bulan ramadhan ini banyak pengemis menggunakan gerobak untuk tidur dengan keluarga, sehingga terlihat memelas dan memungkinkan pejalan maupun pengendara untuk memberikan sedekah.
5. Pura-Pura Buta
Banyak pengemis yang pura-pura buta untuk mendapatkan berbagai macam simpati dari pejalan kaki di beberapa daerah keramaian.
Banyak pengemis yang pura-pura buta untuk mendapatkan berbagai macam simpati dari pejalan kaki di beberapa daerah keramaian.
6. Orang Tua suruh Anak Mengemis
Banyak orang tua yang membawa anak maupun
menyuruh anaknya untuk mengemis, biasanya pengemis seperti ini banyak di lampu
merah dan pinggiran jalan raya.
7. Mendorong Orang Sakit
Biasanya pengemis akan menggunakan orang yang sudah tua, dan di bawa keliling dengan mendorong, sehingga terlihat seperti orang sakit yang membutuhkan bantuan dan simpati dari masyarakat.
Biasanya pengemis akan menggunakan orang yang sudah tua, dan di bawa keliling dengan mendorong, sehingga terlihat seperti orang sakit yang membutuhkan bantuan dan simpati dari masyarakat.
TAHUKAH ANDA BERAPA PENGHASILAN PENGEMIS ?
Menurut Kepala Seksi Rehabilitas Suku Dinas
Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda mengatakan :
- Rata-rata perhari mencapai 750 - 1 juta
Rupiah
ini biasanya di dapatkan oleh ibu-ibu membawa anak dan orang yang sudah tua (Kakek / Nenek)
ini biasanya di dapatkan oleh ibu-ibu membawa anak dan orang yang sudah tua (Kakek / Nenek)
- Pengemis tingkat standar mendapatkan
penghasilan 450 - 500 ribu Rupiah.
Biasanya di dapatkan oleh Anak-anak jalanan yang menggunakan tampang memelas untuk meminta sedekah kepada orang-orang di jalanan.
Biasanya di dapatkan oleh Anak-anak jalanan yang menggunakan tampang memelas untuk meminta sedekah kepada orang-orang di jalanan.
Dalam 1 bulan seorang pengemis Anak-anak bisa mendapatkan 8 - 12 juta Rupiah, sedangkan untuk pengemis dengan penghasilan tinggi bisa mencapai Maksimal 30 juta Rupiah per-Bulannya.
PERBANDINGAN DENGAN FRESH GRADUATE / KARYAWAN
DENGAN PENGEMIS ?
Sangat ironis bahkan jika seorang sarjana muda
yang menempuh kuliah selama 3,5 tahun atau di sebut sebagai Fresh Graduate
hanya bisa mendapatkan gaji sebesar 2 - 3,5 juta Rupiah per-Bulannya. Bahkan
sangat jarang yang bisa mendapatkan hingga 4 juta.
Untuk gaji seorang Manager di Jakarta, bahkan hanya mencapai 12 - 20 juta Rupiah, dimana seorang Manajer merupakan karyawan perusahaan yang telah mengabdi selama bertahun-tahun dan melakukan berbagai pekerjaan keras seorang karyawan untuk meraih jabatan tersebut.
Bahkan seorang Teller perbankan yang telah
bekerja selama 5 tahun hanya memiliki gaji kisaran 4 juta Rupiah per-Bulannya.
CARA BERAMAL YANG BENAR ?
Jika anda ingin melakukan Amal atau sedekah di
sarankan anda menggunakan badan Zakat resmi atau menyalurkan langsung kepada
yang benar-benar membutuhkannya.
KEKUATAN
1. Pendidikan
Dengan adanya pendidikan seharusnya tidak ada lagi masyarakat yang mengandalkan mengemis menjadi mata pencarian.
Dengan adanya pendidikan seharusnya tidak ada lagi masyarakat yang mengandalkan mengemis menjadi mata pencarian.
2. Pemerintah
Seharusnya pemerintah bertindak dalam menangani pengemis musiman karena ini sudah menjadi masalah sosial di indonesia.
Seharusnya pemerintah bertindak dalam menangani pengemis musiman karena ini sudah menjadi masalah sosial di indonesia.
3. Masyarakat
Agar lebih giat lagi berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik untuk menunjang kehidupan.
Agar lebih giat lagi berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik untuk menunjang kehidupan.
4. Pengemis
Dengan hanya mengemis dan meminta-minta para pengemis musiman mendapatkan uang.
Dengan hanya mengemis dan meminta-minta para pengemis musiman mendapatkan uang.
KELEMAHAN
1. Banyak pengemis yang biasanya berada dilampu merah dan sangat menggangu lalu lintas.
2. Banyak pula pengemis musiman yang membawa anaknya untuk mengemis juga.
3. Keberadaan pengemis sangat mengganggu masyarakat.
4. Biasanya pengemis musiman muncul saat bulan ramadhan dan mendekati lebaran.
1. Banyak pengemis yang biasanya berada dilampu merah dan sangat menggangu lalu lintas.
2. Banyak pula pengemis musiman yang membawa anaknya untuk mengemis juga.
3. Keberadaan pengemis sangat mengganggu masyarakat.
4. Biasanya pengemis musiman muncul saat bulan ramadhan dan mendekati lebaran.
PELUANG
1. Para pengemis mendapat hasil yang maksimal dengan usaha yang minimal.
2. Para pengemis mendapatkan edukasi seperti rumah singgah untuk meningkatkan keterampilan secara cuma-cuma.
3. Pada bulan ramadhan tiba biasanya pengemis memulai aksinya, karena mereka berfikir pada bulan ramadhan orang-orang akan bersodaqoh.
4. Para pengemis musiman tidak hanya dapat menghasilkan uang melainkan mereka bisa mendapatkan pemberian berupa makanan atau pakaian.
1. Para pengemis mendapat hasil yang maksimal dengan usaha yang minimal.
2. Para pengemis mendapatkan edukasi seperti rumah singgah untuk meningkatkan keterampilan secara cuma-cuma.
3. Pada bulan ramadhan tiba biasanya pengemis memulai aksinya, karena mereka berfikir pada bulan ramadhan orang-orang akan bersodaqoh.
4. Para pengemis musiman tidak hanya dapat menghasilkan uang melainkan mereka bisa mendapatkan pemberian berupa makanan atau pakaian.
TANTANGAN
1. Para pengemis harus menghadapi kejaran dari petugas.
2. Menghadapi komentar-komentar buruk dari masyarakat.
3. Menghadapi tanggapan buruk atau hinaan dari pengguna jalan raya.
4. Masyarakat tidak boleh memberi sodaqoh kepada pengemis musiman karena mereka memiliki ketua atau kepala pengemis yang memerintah-memerintah mereka.
1. Para pengemis harus menghadapi kejaran dari petugas.
2. Menghadapi komentar-komentar buruk dari masyarakat.
3. Menghadapi tanggapan buruk atau hinaan dari pengguna jalan raya.
4. Masyarakat tidak boleh memberi sodaqoh kepada pengemis musiman karena mereka memiliki ketua atau kepala pengemis yang memerintah-memerintah mereka.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari makalah yang saya tulis dapat disimpulkan bahwa para pengemis musiman adalah para pengangguran yang menggunakan kesempatan untuk mengemis dan mendapatkan hasil besar dari belas kasihan orang lain pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada waktu bulan ramadhan atau lebaran. Para pengemis musiman adalah masyarakat yang malas atau tidak mau berusaha keras untuk mencapai keinginan dan kesuksesannya.
Dari makalah yang saya tulis dapat disimpulkan bahwa para pengemis musiman adalah para pengangguran yang menggunakan kesempatan untuk mengemis dan mendapatkan hasil besar dari belas kasihan orang lain pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada waktu bulan ramadhan atau lebaran. Para pengemis musiman adalah masyarakat yang malas atau tidak mau berusaha keras untuk mencapai keinginan dan kesuksesannya.
SARAN
1. Agar pemerintah lebih memperhatikan kelangsungan hidup masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan.
2. Agar pengusaha-pengusaha membukakan lapangan kerja untuk masyarakat yang pendidikannya kurang menunjang kelangsungan hidup mereka.
3. Agar msyarakat mau berusaha dengan lebih keras dan giat lagi.
1. Agar pemerintah lebih memperhatikan kelangsungan hidup masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan.
2. Agar pengusaha-pengusaha membukakan lapangan kerja untuk masyarakat yang pendidikannya kurang menunjang kelangsungan hidup mereka.
3. Agar msyarakat mau berusaha dengan lebih keras dan giat lagi.
4. Sebelum anda memberi bayangkan seorang
karyawan yang bekerja keras untuk mendapatkan pekerjaannya, di bandingkan
seorang pengemis yang hanya duduk dan menanti menadahkan tangan mendapatkan
uang yang lebih besar.
"Pujilah orang yang bekerja keras untuk
meraih uang yang tidak seberapa, walau hal yang di kerjakannya mungkin tidak
setimpal dengan yang diterimanya",
Laporan Wawancara Dengan Pengemis
Kelompok 3: Assalamualaikum. (sambil menyalami wanita yang sedang berdiri di pintu gerbang masjid Al-Azhar)
Ibu Tini : Waalaikumsalam.
Kelompok 3 : Maaf menggangu bu, bisa minta waktunya sebentar ?
Ibu Tini : Iya. Kenapa ?
Kelompok 3 : Saya mendapat tugas wawancara dari sekolah.
Bisa saya wawancara dgn Ibu ?
Ibu Tini : Iya. Silahkan
Kelompok 3 : Pekerjaan Ibu apa ?
Ibu Tini : pekerjaan saya dulunya tukang cuci. Tapi, sejak 3 bulan lalu saya menjadi pengemis.
Kelompok 3 : Oh. Nama Ibu ?
Ibu Tini : Ibu Tima.
Kelompok 3 : Rumah Ibu dimana ?
Ibu Tini : Di Tidung Mariolo no.1
Kelompok 3 : Anak Ibu berapa ?
Ibu Tini : Tiga.
Kelompok 3 : Kalo boleh tau, mengapa ibu memilih jadi pengemis ? mengapa tidak jadi tukang cuci
Seperti dulu ?
Ibu Tini : Karena sejak suami meninggal, saya harus cari uang. Saya berhenti jadi tukang cuci
Karena saya tenaga saya tidak sekuat dulu.
Kelompok 3 : Oh. Umur ibu berapa ?
Ibu Tini : 39 tahun.
Kelompok 3 : Dimana ibu biasa mencari uang ?
Ibu Tini : Di daerah sini (sekitar jalan Hertasning). Dan di lampu merah Hertasning juga.
Kelompok 3 : Berapa penghasilan Ibu per hari ?
Ibu Tini : Biasa paling banyak 100ribu. Paling sedkit 30ribu per hari.
Kelompok 3 : Apakah penghasilan Ibu itu cukup untuk kebutuhan ibu sehari-hari ?
Ibu Tini : Alhamdulillah, cukup.
Kelompok 3 : Jam berapa Ibu biasa memulai pekerjaan Ibu ?
Ibu Tini : Jam 8 pagi baru jam 1 pulang untuk shalat dhuhur lalu kembali lagi kesini.
Kelompok 3 : Sekarang kan ada Undang-Undang yang mengatur bahwa member uang kepada
Pengemis di jalan bisa di denda. Bagaimana menurut Ibu ? apa Ibu pernah kena razia ?
Ibu Tini : Saya tidak pernah ditangkap. Malah, polisi sering memberi saya uang.
Saya tidak setuju Undang-Undang itu.
Kelompok 3 : Apa harapan Ibu kepada Pemerintah ke depannya ?
Ibu Tini : Saya berharap bantuan kepada orang miskin seperti saya terus ada.
Kelompok 3 : Semoga harapan Ibu terkabulkan.
Terima kasih atas waktunya Bu. Assalamualaikum.
Ibu Tini : Iya, nak. Waalaikumsalam.
Ibu Tini : Waalaikumsalam.
Kelompok 3 : Maaf menggangu bu, bisa minta waktunya sebentar ?
Ibu Tini : Iya. Kenapa ?
Kelompok 3 : Saya mendapat tugas wawancara dari sekolah.
Bisa saya wawancara dgn Ibu ?
Ibu Tini : Iya. Silahkan
Kelompok 3 : Pekerjaan Ibu apa ?
Ibu Tini : pekerjaan saya dulunya tukang cuci. Tapi, sejak 3 bulan lalu saya menjadi pengemis.
Kelompok 3 : Oh. Nama Ibu ?
Ibu Tini : Ibu Tima.
Kelompok 3 : Rumah Ibu dimana ?
Ibu Tini : Di Tidung Mariolo no.1
Kelompok 3 : Anak Ibu berapa ?
Ibu Tini : Tiga.
Kelompok 3 : Kalo boleh tau, mengapa ibu memilih jadi pengemis ? mengapa tidak jadi tukang cuci
Seperti dulu ?
Ibu Tini : Karena sejak suami meninggal, saya harus cari uang. Saya berhenti jadi tukang cuci
Karena saya tenaga saya tidak sekuat dulu.
Kelompok 3 : Oh. Umur ibu berapa ?
Ibu Tini : 39 tahun.
Kelompok 3 : Dimana ibu biasa mencari uang ?
Ibu Tini : Di daerah sini (sekitar jalan Hertasning). Dan di lampu merah Hertasning juga.
Kelompok 3 : Berapa penghasilan Ibu per hari ?
Ibu Tini : Biasa paling banyak 100ribu. Paling sedkit 30ribu per hari.
Kelompok 3 : Apakah penghasilan Ibu itu cukup untuk kebutuhan ibu sehari-hari ?
Ibu Tini : Alhamdulillah, cukup.
Kelompok 3 : Jam berapa Ibu biasa memulai pekerjaan Ibu ?
Ibu Tini : Jam 8 pagi baru jam 1 pulang untuk shalat dhuhur lalu kembali lagi kesini.
Kelompok 3 : Sekarang kan ada Undang-Undang yang mengatur bahwa member uang kepada
Pengemis di jalan bisa di denda. Bagaimana menurut Ibu ? apa Ibu pernah kena razia ?
Ibu Tini : Saya tidak pernah ditangkap. Malah, polisi sering memberi saya uang.
Saya tidak setuju Undang-Undang itu.
Kelompok 3 : Apa harapan Ibu kepada Pemerintah ke depannya ?
Ibu Tini : Saya berharap bantuan kepada orang miskin seperti saya terus ada.
Kelompok 3 : Semoga harapan Ibu terkabulkan.
Terima kasih atas waktunya Bu. Assalamualaikum.
Ibu Tini : Iya, nak. Waalaikumsalam.
Referensi:
1. http://www.fimela.com/read/2013/07/29/6-masalah-sosial-yang-dihadapi-indonesia-tiap-ramadhan/page/0/3
1. http://www.fimela.com/read/2013/07/29/6-masalah-sosial-yang-dihadapi-indonesia-tiap-ramadhan/page/0/3
12.
http://sosbud.kompasiana.com/2013/09/02/gelandangan-di-perkotaan-dan-kompleksitas-masalahnya-585936.html
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menggugah kesadaran akan persoalan gelandangan di Indonesia, siapapun kita, entah itu para pengambil kebijakan, sektor swasta, politician, LSM, praktisi, ataupun masyarakat umum.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menggugah kesadaran akan persoalan gelandangan di Indonesia, siapapun kita, entah itu para pengambil kebijakan, sektor swasta, politician, LSM, praktisi, ataupun masyarakat umum.
0 komentar:
Posting Komentar